Kamis, 18 Juni 2015

Ayah Dan Paru-Parunya


www.pulsk.com
“Dek, temenin ayah sebentar. Ayah enggak bisa tidur, nih”
Suara ayah mengagetkanku yang sedang terlelap tidur. Ku lihat handphone, jamnya menunjuk ke pukul 01.00 dini hari.
Ku sibakan selimutku dan beranjak malas ke ruang keluarga untuk menemani ayahku berbincang.
“Ayah nyesek banget, nih, dek. Sudah hari gini masih enggak bisa tidur, ayahkan jadi bingung”
“Sabar, yah. Emang apa yang Ayah pikirin?” aku mencoba bertanya
“Ayah enggak mikirin apa-apa. Cuma nyeseknya ini yang enggak tahan”
“Iya, sabar, kan lagi diobatin. Semua butuh proses enggak instant, yah” aku mencoba menyemangati ayahku.

Hingga pukul 03.00 kami ngobrol, aku mendengarkan keluh kesah tentang penyakitnya, sampai akhirnya ayahku masuk ke kamar dan mencoba untuk tidur. Aku tetap berada di ruang keluarga atas permintaannya, sampai ia bener-benar tidur pulas.

Ayahku divonis sakit paru-paru sejak 3 tahun yang lalu. Beliau memang perokok berat dari saat duduk di Sekolah Menengah Atas hingga usianya 55 tahun.

Awalnya ayahku hanya mengalami sesak napas seperti orang asma. Beliau bertanya ke tetangga depan rumah yang notabene adalah dokter spesialis penyakit paru. Saat itu ayahku hanya diberi obat sejenis symbicort, harganya Rp 600.000/30 pcs. Dengan obat tersebut ayahku masih dapat beraktifitas dengan baik. Walau seorang pensiunan di salah satu surat kabar harian di Jakarta, ayahku mempunyai kerjaan sampingan bersama rekan sejawatnya yaitu membuat majalah untuk para manula.

Setahun memakai symbicort, kelihatannya rasa sesaknya tidak kunjung hilang sehingga dokterpun menganjurkan memakai obat tersebut sehari 2x.

Suatu saat symbicort sedang kosong pabrik. Ayahku pun berjuang tanpa obat itu tapi enggak kuat. Sayangnya saat itu dokter spesialis parunya sedang enggak di Jakarta, membuat syahku banting setir berobat ke dokter umum. Beliau diberikan beberapa obat, aku lupa obat apa saja. Tapi setiap kali minum obat dari dokter itu, ayah langsung merasa mual. Beliau berhenti minum obat itu karena terlalu keras sehingga mengganggu lambung dan hampir mengalami gangguan fungsi hati.

Di awal tahun 2015, ayah dilarikan ke Rumah Sakit dan dirawat selama 5 hari karena sesak napasnya kian parah sampai enggak mampu bernapas sendiri tanpa bantuan oksigen.

Hingga kini ayahku hidup dengan tabung oksigennya, obat symbicort-nya, obat parunya, dan obat uapnya (combivent). Sesak nafasnya membuat tidurnya terganggu. Pernah ia 2 hari berturut-turut enggak tidur, batuk dan mengeluarkan flek darah.

Kemarin, Dokter memintanya untuk melakukan test laboratotium dahak dan rongent untuk yang ke 3 kalinya. Pada dahaknya semua hasil negatif, namun pada rongent paru-parunya mengalami kemunduran dari hasil rongent yang sebelumnya. Dokter menjelaskan bahwa salah satu paru-paru ayah *aku lupa sebelah mana* mengalami kerusakan dan enggak bisa bekerja dengan normal lagi, ibarat balon tiup banyak sisi-sisinya yang bolong. Paru-parunya pun penuh flek hitam akibat nikotin rokok yang menempel dan enggak bisa dihilangkan.

Kini hidup ayahku mengandalkan satu paru lainnya yang masih sehat, bukan hanya beliau saja yang berjuang tetapi seluruh organ tubuhnya pun harus berjuang. Karena organ-organ di tubuh itu mereka seperti saudara, jika 1 sakit, yang lainpun ikutan sakit karena saling terhubung.

The End

Kisah ini diceritakan bukan untuk memamerkan penyakit Ayah. Tapi aku hanya berharap para perokok segera menghentikan hobby-nya itu. Lihatlah akibat yang akan kalian alami jika terus menghisapnya. Penyakit yang akan kalian hadapi bukan penyakit ringan, penyakit itu membutuhkan biaya yang sangat besar, dan membutuhkan kesabaran bagi keluarga yang menemaninya.
Berilah hak sehat untuk tubuhmu, sehingga kamu bisa memberikan hak sehat ke orang lain disekitarmu.